World Through my Words

Thursday, February 14, 2013

Ibu Tiri vs Anak Tiri: Bagian Pertama (Anak)


Sudah baca aturan membaca post blog ini? ;)

Perlu sister pahami, tidak ada satupun anak di dunia ini yang menginginkan perceraian. Masalahnya adalah, perilaku buruk sama saja dengan perilaku baik, seringnya pola berulang dan menjadi kebiasaan. Maka tidak heran ketika suatu masalah terkuak, seseorang di pihak yang ‘merasa benar’ dan menjadi ‘korban’ mengambil langkah perpisahan.

Dengan dalih ‘ini juga demi kebaikan anak kami’, dimana mereka juga pasti tahu bahwa sebaik apapun mereka menutupi perpisahan tersebut, ada sesuatu yang sudah tercerabut dari jiwa si anak. Kebersamaan. Melihat bahwa ia normal, yaitu memiliki ayah dan ibu yang tinggal bersama di satu rumah. Dan hal itu hilang tanpa ada yang bisa anak lakukan untuk mempertahankannya.

Saya ingat salah satu dialog di film “Letters from Juliet” yang diperankan oleh Amanda Seyfried. Nenek dari pemeran utama laki-laki mengatakan bahwa orang tua si laki-laki (yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas) tidak sama dengan orang tua Amanda yang ‘memilih untuk meninggalkan Amanda’.

Jadi, sister tidak mungkin berharap anak broken home bisa senormal anak di sebuah keluarga yang biasa saja. Kenyataannya memang mereka mengalami suatu keadaan yang abnormal.

Namun begitu, pada beberapa keadaan dengan pola didik yang luar biasa, seorang anak broken home bisa menjadi lebih super daripada anak biasa. Maaf, ambil contoh saya. Saya diajarkan untuk harus berprestasi supaya ayah saya selalu ingat akan saya. Karena kita selalu ingat pada apa yang bisa kita banggakan, benar? Sebenarnya saya juga biasa-biasa saja, tapi ketika saya memasuki sebuah kompetisi, saya bilang sama diri sendiri bahwa saya harus menang. Saya mau ayah saya menemui saya dan mengucapkan selamat. Sebenarnya tekanannya jadi lebih tinggi dan stressful tapi sekali lagi, sudah menjadi suatu kebiasaan.

Selain itu, anak-anak tetaplah anak-anak. Suka atau tidak, orang tua memang tempat meminta. Jangankan yang usia 10 tahun, hingga saat ini saya berumur hampir 25 tahun, kalau saya pingin punya sesuatu, saya akan tanya dulu ke ayah saya. Bukan saya tidak mampu beli sendiri, tapi karena anak korban perceraian menginginkan sebuah simbol kasat mata yang menjadi bukti perhatian orang tuanya. Demikian juga yang selalu saya bilang ke ayah saya. Setiap hari raya, saya selalu diberi uang untuk belanja baju sendiri. Saya tegas menolak. Karena, kalau dibelikan bisa lebih dari jatah, hehe. Bukan, saya ingin memiliki waktu berkualitas bersama ayah saya. Saya ingin ayah saya memilihkan baju terbaik untuk saya, seperti yang beliau lakukan untuk ketiga adik saya.

Jadi, jika anda adalah seorang ibu tiri dan menganggap bahwa suami anda sudah cukup memberikan sejumlah uang sebagai tunjangan bulanan, percayalah berapapun jumlahnya tidak akan pernah cukup untuk menggantikan kehadiran ayahnya.

Saya pun merasakannya. Di masa SMA, setiap awal bulan saya terpekur di depan ATM. Menatap nominal uang di rekening itu sambil berpikir ‘buat apa uang sebanyak ini?’ Saya tidak butuh uang sebanyak itu untuk naik angkot, saya bahkan rela menukarnya hanya untuk mendapat kesempatan diantar-jemput ke sekolah oleh ayah.

Disinilah biasanya sinetronnya mulai. Anak-anak itu menggunakannya untuk hal-hal yang tidak ‘normal’. Dan sekali lagi si ayah dan ibu tiri mengatakan “kamu ga tahu diuntung”

Well, saya tidak membela anak broken home. Karena it’s about environment after all. Setiap manusia selalu bisa memilih hal yang lebih baik. Tapi kalau lingkungannya tidak menunjukkan kepada si anak bahwa itu buruk, ya how come he/she knows?

And yes. Jangan jadikan anak broken home sebagai kambing hitam, terlebih sampai bilang “anak broken home sih…” Yang anak normal MBA, narkoba, bandar togel *eh* juga banyak ibu-ibu.. Ndak ada hubungannya sama sekali ya.. Plis.

Kesimpulannya adalah, tidak ada gading yang tak retak. Seorang anak yang datang dari keluarga yang paling harmonis pun masih bisa tidak sempurna. Dalam posisi seperti ini, baiknya memiliki visi bahwa anak tiri sama dengan anak kandungnya. Sama-sama anak-anak. Titik.

Untuk anak-anak broken home, sayang sekali saya baru sadar hal ini setelah saya usia 24 tahun. You have to move on, istilah gaulnya. Apapun yang terjadi antara ayah dan ibumu, bersyukurlah mereka berdua masih ada, seperti apapun keadaannya.

Sekali lagi, suka atau tidak, yang kemarin biarlah berlalu. Perpisahan mereka bukan kesalahanmu, tapi kalau sampai ada sesuatu dengan masa depanmu, itu jelas salahmu. Jika memang kamu menganggapnya sebagai sebuah kekurangan, kamu selalu bisa mengubahnya menjadi peluang dan kesempatan untuk selangkah lebih maju daripada orang lain. Kamu, berhak untuk bahagia. Dengan cara yang baik dan benar.

Terakhir, seperti kamu, kedua orang tuamu berhak untuk bahagia. Jika memang mereka tidak bahagia ketika bersama dengan satu sama lain, mereka berhak punya kesempatan kedua. Jangan halangi hak mereka untuk bahagia. Because after all, you will grow up someday. You will leave your parents, and when you’re gone, its their couple who will light up their life. Your duty is simply take care of your own life and your own future family.

Silahkan berikan masukan atau mungkin kalau sister mau sharing, bisa email ke primaditarahma(at)gmail(dot)com. Dengan satu syarat, jangan cerita kalau takut saya tidak bisa simpan rahasia #bercanda :p

Love and Hugs,
Prima





2 komentar:

  1. I'm a single mother of 6yo boy mbak. And I couldn't hold my tears reading your sentences: "Jadi, jika anda adalah seorang ibu tiri dan menganggap bahwa suami anda sudah cukup memberikan sejumlah uang sebagai tunjangan bulanan, percayalah berapapun jumlahnya tidak akan pernah cukup untuk menggantikan kehadiran ayahnya."
    You're so right, it's not about the money after all. It never was, it never will. Thank you for sharing mbak. :')

    ReplyDelete
  2. Betul banget, broken home gak bisa dijadiin alasan untuk ngelakuin hal2 negatif. Justru apa yang terjadi sama orang tua kita sepatutnya kita jadiin pelajaran. Supaya dimasa mendatang kita nggak malah mikir "Ah, bokap/nyokap aja cerai.. yaudahlah gue cerai juga.."
    No matter how bad the situation is, quitting is not the solution. Dua2nya walaupun bilang "Bahagia setelah cerai" nggak akan pernah bahagia dalam hatinya. :)

    ReplyDelete

© I'm Fireworks!, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena